Para santri di masa kini dituntut tak hanya mendapat bekal pengetahuan agama. Untuk membentuk karakter bangsa, para santri pun kini dibekali dengan wawasan kebangsaan. Hal ini dibahas dalam seminar bertajuk Wawasan Kebangsaan, Bela Negara, dan Moderasi Beragama yang digelar di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kota Kediri, Rabu pagi (21/5).
Komandan Kodim 0809 Kediri, Letkol Inf. Ragil Jaka Utama, menegaskan, bela negara harus disesuaikan dengan profesi masing-masing individu. Bagi para santri, bela negara diwujudkan melalui semangat belajar yang rajin, menghormati guru, dan saling menghargai antar teman. Mengajak kebaikan dan menjaga kerukunan di lingkungan pendidikan juga merupakan bentuk nyata bela negara.
“Generasi muda jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya,” ujar Letkol Ragil mengutip pesan Bung Karno, Bapak Proklamator Kemerdekaan Indonesia.
Ia menjelaskan, perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang dan penuh pengorbanan. Perlawanan terhadap penjajah dilakukan di berbagai daerah oleh tokoh-tokoh nasional seperti Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, dan Pattimura. Kemudian muncul periode Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan lahirnya organisasi seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam, hingga puncaknya Sumpah Pemuda pada 1928.
Perjuangan kemerdekaan juga diwarnai oleh berbagai pemberontakan setelah proklamasi 1945, seperti pemberontakan PKI Muso, DI/TII, dan Permesta. Sebagai negara kepulauan terbesar dunia dengan 38 provinsi dan sekitar 283 juta penduduk, Indonesia membutuhkan kekuatan pertahanan yang tangguh. TNI menjadi komponen utama dalam pertahanan negara.
Letkol Ragil juga menyoroti kondisi geopolitik global yang berpengaruh pada Indonesia, mulai dari konflik Rusia-Ukraina, India-Pakistan, sengketa Laut Cina Selatan, hingga ancaman radikalisme dan terorisme dalam negeri.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002, ancaman terhadap negara terbagi menjadi militer dan non-militer. Sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) melibatkan seluruh warga negara serta sumber daya nasional yang dipersiapkan secara total dan terpadu.
“Jumlah tentara aktif Indonesia sekitar 443.000, sangat tidak seimbang dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa. Oleh sebab itu, penguatan komponen cadangan yang siap dimobilisasi sangat diperlukan,” kata Letkol Ragil.
Ia juga mengingatkan tentang dampak teknologi, terutama penggunaan handphone dan kecerdasan buatan (AI). “Manfaatkan teknologi untuk hal-hal positif dan hindari penyebaran hoaks serta konten negatif yang dapat merusak mental dan moral, termasuk di lingkungan pesantren,” pesannya.
Menurut Letkol Ragil, bela negara adalah tekad, sikap, dan tindakan warga negara dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. “NKRI harga mati! Itulah yang harus kita jaga bersama,” tegasnya.
Bela negara merupakan kewajiban setiap warga negara tanpa terkecuali, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 30. Nilai-nilai dasar bela negara meliputi cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, kesetiaan pada Pancasila, serta rela berkorban untuk bangsa dan negara.
Karakter yang diharapkan dari generasi muda, khususnya para santri, adalah tangguh, berakhlak mulia, bermoral, toleran, gotong royong, patriotik, dan berorientasi pada nilai-nilai Pancasila yang dijiwai oleh iman dan takwa.
“Presiden Soekarno pernah berkata, ‘Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia’. Karakter dan mentalitas pemuda sangat menentukan masa depan bangsa,” ungkapnya.
Di akhir acara, Letkol Ragil berharap para santri, baik yang mengikuti seminar secara daring maupun tatap muka, mampu menjadi generasi yang bangga akan identitas bangsa, menumbuhkan cinta tanah air, membangun integritas, nasionalisme, patriotisme, serta kesadaran sosial dan kepedulian terhadap sesama. (Mzda)