Maraknya kasus kekerasan serta perundungan di lingkungan pendidikan, termasuk sekolah dan pesantren kerap menjadi sorotan publik. Masalah ini semakin kompleks ketika korban enggan melapor karena takut atau pihak sekolah dan orang tua tidak transparan, bahkan cenderung menutup-nutupi kasus. Lantas, bagaimana mengenali adanya masalah dalam sistem pendidikan?
Ketua DPP LDII Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga (PPKK), Siti Nurannisaa Paramabekti, menekankan pentingnya aturan dan kebijakan yang jelas sebagai landasan pencegahan terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah maupun pesantren.
“Dengan aturan dan kebijakan yang tertuang dalam sistem sekolah, peran setiap pemangku kepentingan, guru, orang tua, dan elemen lain, dapat lebih terdefinisi. Dari situ, kita bisa menciptakan lingkungan yang kondusif dan mengenali penyimpangan,” ujar Nurannissa dalam sesi wawancara usai menjadi narasumber Pelatihan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) Perintisan Sekolah Aman, Nyaman, dan Menyenangkan (SANM) di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kediri, pada Sabtu (24/5).
Menurut Nurannisaa, aturan dan kebijakan bisa membantu mendeteksi gejala-gejala masalah sebelum berkembang. Misalnya, aturan tentang absensi kehadiran siswa di sekolah yang mewajibkan pemberitahuan jika absen lebih dari dua hari. “Jika ada siswa yang tidak masuk lima hari tanpa kabar, ini bisa menjadi tanda awal masalah,” jelasnya.
Ia juga mencontohkan kasus kekerasan verbal. “Jika ada siswa yang biasanya aktif tiba-tiba diam setelah berinteraksi dengan teman yang berbicara kasar, guru dapat menindaklanjuti karena telah terjadi pelanggaran tata krama,” paparnya.
Namun, Nurannisaa mengakui bahwa aturan sering kali tidak efektif jika tidak dijalankan secara konsisten oleh pembuatnya sendiri. “Aturan harus hidup terlebih dahulu di internal sekolah, guru, kepala sekolah, dan staf. Jika nilai-nilai itu sudah mengakar, akan lebih mudah diterapkan pada siswa,” tegasnya.
Untuk membangun ekosistem yang baik, diperlukan grand design yang mencakup sistem, aturan, kebijakan, dan peran masing-masing pihak. “Ini bukan proses instan, tetapi membutuhkan strategi, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) yang berkelanjutan, serta monitoring dan evaluasi (monev) di setiap tahapan,” ujarnya.
Nurannisaa menuturkan, perubahan perilaku dan karakter memerlukan kesabaran, ketangguhan, serta kemampuan berpikir kritis dan kreatif. “Mungkin ada trial and error, tetapi yang penting kita punya arah yang jelas, seperti kapal yang tahu ke mana harus berlayar,” pungkasnya.
Dengan pendekatan sistematis ini, diharapkan sekolah dan pesantren dapat menjadi lingkungan yang aman dan nyaman bagi siswa, sekaligus mencegah praktik kekerasan dan perundungan.