Indonesia memiliki berbagai regulasi yang komprehensif terkait perlindungan anak. Meskipun demikian, kasus kekerasan dan perundungan terhadap anak masih kerap terjadi di berbagai daerah. Fenomena ini memunculkan pertanyaan serius: Apakah sosialisasi hukum dan mekanisme perlindungan anak sudah berjalan secara optimal?
Ketua DPP LDII Bidang Hukum dan HAM, Ibnu Anwarudin, menegaskan bahwa dari sisi regulasi, Indonesia tidak kekurangan perangkat hukum. “Ada Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Sistem Peradilan Anak, Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Khusus Anak, serta berbagai peraturan menteri dari Kemendikbud dan Kementerian Agama yang secara khusus mengatur pencegahan kekerasan di satuan pendidikan,” ujarnya dalam Pelatihan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK), Sabtu (24/5) di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kediri.
Namun, Ibnu mengakui bahwa implementasi regulasi tersebut tidaklah sederhana. Menurutnya, keberhasilan pelaksanaan hukum sangat bergantung pada peran aktif seluruh elemen masyarakat. “Stakeholders seperti tenaga pendidik, orang tua, dinas terkait, bahkan Kementerian Sosial harus saling berkolaborasi. Tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah,” jelasnya.
Salah satu kendala terbesar, lanjut Ibnu, adalah kebingungan korban dan saksi dalam melaporkan kasus kekerasan. Rasa takut terhadap dampak setelah melapor sering kali membuat kasus tidak terungkap. Oleh karena itu, pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) pada satuan pendidikan menjadi langkah strategis yang sangat penting.
“Tim ini tidak hanya memberikan edukasi tentang sanksi hukum bagi pelaku kekerasan, tetapi juga menyediakan mekanisme pelaporan yang jelas dan mudah diakses. Satuan pendidikan wajib memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kekerasan agar anak-anak merasa aman dan berani untuk melapor,” tambah Ibnu.
Ia juga menekankan pentingnya deteksi dini terhadap potensi kekerasan. Guru, konselor BK, dan pengawas sekolah harus dibekali kemampuan untuk mengenali tanda-tanda kekerasan atau perundungan sejak awal. Pendekatan psikologis dan sosiologis perlu dikedepankan sebelum membawa kasus ke ranah hukum.
Terakhir, Ibnu menyampaikan pesan penting bagi anak-anak agar tidak takut melapor. “Anak-anak harus diberikan rasa aman. Identitas mereka harus dilindungi, dan mereka harus yakin bahwa melapor bukanlah bentuk pengkhianatan, melainkan cara untuk menyelamatkan diri.”
Dengan kolaborasi nyata antara pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat, diharapkan kekerasan terhadap anak dapat dicegah sejak dini dan ditangani dengan lebih efektif. Sudah saatnya kita bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman, mendukung, dan ramah anak, karena perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama.