Kekerasan pada satuan pendidikan masih menjadi persoalan serius yang memerlukan perhatian menyeluruh dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Hal ini disampaikan oleh Pengurus DPP LDII Dian Alia Putri dalam Pelatihan Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) yang digelar pada Sabtu (24/5), di Pondok Pesantren Wali Barokah Kota Kediri.
Dalam paparannya, Dian menyebut kekerasan di sekolah bisa terjadi antar siswa, antara guru dan siswa, maupun sesama tenaga pendidik. Ia menekankan bahwa kekerasan tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga dalam bentuk psikis, seksual, perundungan, diskriminasi, serta kekerasan berbasis digital.
“Langkah awal dalam mencari solusi adalah mengakui keberadaan masalah dan tidak menutup-nutupinya,” ujar Dian mengutip pesan dari dr. Riko, narasumber sebelumnya.
Ia juga menekankan pentingnya pendekatan komprehensif dalam menangani kasus. Salah satunya dengan mendengarkan keterangan korban, pelaku, dan saksi.
Dian memaparkan enam bentuk kekerasan yang umum terjadi di satuan pendidikan, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, perundungan (bullying), diskriminasi, dan kekerasan berbasis gender atau relasi kuasa. Ia juga menyoroti permasalahan persepsi guru terhadap bentuk-bentuk kekerasan.
Berdasarkan survei Yayasan Sejiwa, sebagian guru masih menganggap olok-olok atau hukuman fisik sebagai hal wajar dalam proses mendisiplinkan siswa.
Faktor pemicu kekerasan menurut Dian antara lain berasal dari latar belakang keluarga yang tidak harmonis, kurangnya perhatian orang tua, pengaruh teman sebaya, media sosial, serta ketidakmampuan mengelola emosi. “Banyak anak yang belajar cara mengelola emosi dari orang tuanya. Jika orang tua cenderung agresif, anak pun akan meniru,” ujarnya.
Dalam pelatihan tersebut juga dipaparkan hasil penelitian yang dilakukan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2023, yang menunjukkan bahwa santri putra lebih rentan mengalami kekerasan seksual dibandingkan santri putri. Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi serta minimnya pengawasan lingkungan fisik menjadi penyebab utama.
Untuk meningkatkan ketahanan mental dan emosional santri, Dian menyarankan agar pesantren menyediakan lebih banyak kegiatan seni dan olahraga, khususnya bagi santri putri. “Kegiatan tersebut dapat menjadi media penyaluran emosi dan kreativitas yang berdampak positif pada kesehatan mental,” jelasnya.