Ketua DPP LDII Prof. Singgih Tri Sulistiyono mengatakan visi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang diusung pada peringatan HUT ke-80 dengan jargon “TNI PRIMA” (Profesional, Responsif, Integratif, Modern, dan Adaptif) merupakan kelanjutan dari karakter historis TNI sejak 1945. Sejak awal, TNI terbukti responsif dan adaptif ketika harus bertransformasi dari laskar rakyat menjadi tentara nasional.
“Watak integratif TNI terlihat ketika berhasil menjaga keutuhan NKRI dengan menumpas pemberontakan di berbagai daerah. Kini, dengan tantangan global seperti ancaman siber dan geopolitik Indo-Pasifik, TNI harus makin modern dan adaptif,” ujarnya.
Terkait tema HUT TNI ke-80 tahun ini yang menekankan profesionalisme, modernisasi, dan kedekatan dengan rakyat, Singgih menyebut hal tersebut selaras dengan sejarah TNI. Sejak awal kemerdekaan, TNI lahir dari rakyat dan berjuang bersama rakyat. Reformasi kemudian menegaskan kembali peran profesionalnya, sementara modernisasi menjadi kebutuhan untuk menjawab tantangan pertahanan di era teknologi baru.
“Profesionalisme berarti komitmen netralitas politik dan peningkatan kualitas prajurit. Modernisasi adalah syarat menghadapi spektrum ancaman baru. Sedangkan kedekatan dengan rakyat adalah pengingat jati diri historis TNI sebagai tentara yang lahir dari rakyat dan untuk rakyat,” kata Singgih.
Menurutnya, peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) TNI ke-80 menjadi momentum penting untuk merefleksikan perjalanan panjang Tentara Nasional Indonesia sejak 5 Oktober 1945 hingga kini menjadi institusi pertahanan modern.
Ia melanjutkan, TNI telah mengalami transformasi besar. Pada masa revolusi (1945–1949), TNI tampil sebagai garda bangsa mempertahankan kemerdekaan. Era 1950–1965 ditandai konsolidasi dan penumpasan pemberontakan, namun juga muncul peran ganda militer. Pada masa Orde Baru, TNI menjadi pilar kekuasaan dengan kekuatan politik dominan, meski kemudian dikritik karena melahirkan otoritarianisme. Reformasi 1998 menjadi titik balik ketika dwifungsi dicabut, TNI dipisahkan dari Polri, dan diarahkan kembali ke profesionalisme.
“Sekarang TNI bergerak menuju militer profesional yang modern melalui modernisasi alutsista, peningkatan kualitas SDM, dan keterlibatan dalam diplomasi pertahanan global,” ujar Singgih yang juga menjadi Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang.
Oleh karena itu, dengan memahami sejarah TNI, generasi muda akan sadar, mereka bagian dari mata rantai panjang perjuangan bangsa, “Mereka punya tanggung jawab melanjutkan cita-cita menjaga kedaulatan, persatuan, dan martabat Indonesia,” pungkas Singgih. (cak/wid)