Musyawarah Wilayah (Muswil) X Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Jawa Timur menjadi momentum dalam merajut persatuan umat dan memperkokoh komitmen kebangsaan. Muswil dilaksanakan di Gedung Serba Guna (GSG) Sabilurrosyidin, Surabaya, 30-31 Agustus 2025.
Kegiatan ini dihadiri oleh jajaran tokoh masyarakat, ormas Islam, serta tokoh lintas agama. Hari pertama diisi dengan Dialog Kebangsaan dengan menghadirkan para tokoh lintas ormas keagamaan. Sesi pertama menghadirkan Ketua DPW LDII Jatim Amrodji Konawi, Ketua PW Muhammadiyah Jatim Prof. Sukadiono, dan Sekretaris MUI Jatim KH. Hasan Ubaidillah.
Dalam penyampaiannya, Ketua DPW LDII Jawa Timur, Amrodji Konawi, menegaskan bahwa semangat kebangsaan sudah menjadi pijakan LDII sejak berdirinya, ketika masih bernama LEMKARI. Ia mengingatkan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan bersama seluruh elemen bangsa.
“Kemerdekaan bangsa ini merupakan hasil perjuangan kolektif, bukan milik satu golongan, agama, atau suku. Oleh karena itu Indonesia harus kita jaga hingga akhir zaman,” ujarnya.
Amrodji juga mengajak umat Islam untuk menempatkan diri secara bijak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan merujuk pada nilai-nilai Al-Qur’an. Ia menyinggung Surat Al-Hujurat ayat 13 yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal dan melengkapi, serta Surat Al-Mumtahanah ayat 8 yang menekankan pentingnya berbuat baik dan berlaku adil kepada semua, termasuk kepada mereka yang berbeda agama selama tidak memusuhi atau mengusir umat Islam. Menurutnya, LDII selalu berkomitmen untuk menjaga persatuan dan kebersamaan dalam wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diibaratkannya sebagai kapal besar yang membawa perjalanan bangsa.
“LDII sama dengan ormas lain, kita semua bersaudara. Dengan umat lain pun kita harus berbuat adil, karena itu perintah Allah. Mari kita rawat kebersamaan demi keutuhan bangsa dan negara,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, Prof. Sukadiono, juga menyoroti pentingnya visi ormas Islam dalam membangun kesejahteraan umat. Menurutnya, Muhammadiyah memiliki visi besar yang disebut Islam Berkemajuan, yang memiliki tiga syarat utama.
Pertama, Islam yang adaptif terhadap perkembangan zaman. “Di era digital, ormas Islam harus bisa mengikuti perkembangan teknologi. Saya melihat LDII sudah cukup adaptif, terlihat dari sisi digitalisasi yang mereka jalankan,” jelas Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surabaya ini.
Kedua, Islam yang inovatif dan kreatif. Ormas Islam, lanjutnya, tidak boleh terjebak dalam rutinitas lama. “Harus ada kemampuan menciptakan solusi baru menghadapi tantangan modern,” tegasnya.
Ketiga, Islam yang kolaboratif. Prof. Sukadiono menegaskan bahwa ormas Islam tidak bisa berjalan sendiri. “Kita tidak mungkin menjadi oposisi terus-menerus. Kita harus beradaptasi, berkolaborasi, dan mendukung siapapun yang terpilih menjadi pemimpin bangsa,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa doktrin utama Muhammadiyah adalah tauhid, ikhlas dalam berjuang, dan menggerakkan dakwah yang mencerdaskan. Dakwah menurutnya bukan hanya berbicara, tapi juga mendengar dan memberi solusi. Muhammadiyah juga menekankan pentingnya amal usaha serta kerjasama lintas ormas Islam, termasuk dengan NU dan LDII, sebagai implementasi Islam Wasathiyah.
“Ormas Islam harus menjaga kedamaian, keamanan, dan ketertiban negeri. Konflik hanya akan merugikan umat. Muhammadiyah menolak hal-hal yang bertentangan dengan agama, termasuk LGBT, tetapi kita tetap harus bekerja sama dalam hal kebaikan dan ketakwaan,” tandasnya.
Di sisi lain, Sekretaris MUI Jatim, KH. Hasan Ubaidillah, juga menegaskan pentingnya meneguhkan Islam Wasathiyah atau Islam moderat sebagai jati diri umat Islam Indonesia. “Wasathiyah itu pertengahan, tidak condong ke kiri atau ke kanan. Inilah identitas Islam rahmatan lil alamin yang paling nyata, dan cerminan itu ada di Indonesia,” ujarnya.
Hasan mengingatkan bahwa sebagai umat Rasulullah harus bisa meneladani akhlakul karimah. Karena menurutnya kesantunan para peserta LDII yang hadir bisa dijadikan sebagai contoh nyata cerminan Islam wasathiyah. Dalam konteks kebangsaan, Hasan juga turut menyoroti dinamika ekonomi nasional. Ia merujuk pada pidato Presiden Prabowo Subianto terkait Nota Keuangan dan RUU APBN 2026 yang memperkirakan defisit anggaran sebesar 2,5%. Kondisi ini berdampak pada turunnya Dana Bagi Hasil (DBH) ke daerah-daerah, yang kemudian mendorong pemerintah daerah untuk mencari alternatif, seperti menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Masalahnya, bahkan tanpa kenaikan pajak pun masyarakat sudah merasa berat. Ada daerah yang menaikkan pajak hingga 200–400%. Ini tentu menjadi beban tersendiri bagi rakyat,” ujar Hasan Ubaidillah yang juga menjabat Sekretaris PWNU Jatim.
Dalam situasi seperti ini, menurutnya, penerapan nilai-nilai Islam yang moderat menjadi sangat penting agar umat bisa tetap arif dan bijak dalam merespons tantangan negara. Termasuk juga untuk menghadapi fenomena sosial yang sedang menjadi perhatian publik, seperti seruan pengibaran bendera One Piece saat perayaan kemerdekaan, maraknya isu LGBT, dan tren sound horeg di kalangan anak muda.
“Ketika generasi muda lebih memilih mengibarkan bendera tokoh fiksi ketimbang merah putih, maka kita perlu bertanya: apakah nasionalisme mereka mulai luntur? Begitu juga dengan fenomena LGBT dan sound horeg yang berlebihan, apakah ini mencerminkan nilai bangsa kita?” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa para tokoh agama harus menyikapi persoalan-persoalan tersebut dengan penuh kebijaksanaan (bil hikmah), dengan cara memberikan keteladanan yang baik, menunjukkan akhlak yang mulia, serta mendidik generasi muda agar tetap berada dalam nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin.
“Kita tidak bisa hanya marah atau reaktif, tapi harus memberikan contoh nyata yang bisa menjadi pegangan anak-anak muda dalam menghadapi arus budaya global yang tidak sejalan dengan jati diri bangsa dan agama,” pungkasnya.