Surabaya – Ancaman kebangsaan baik dari luar maupun dari dalam negeri menjadi sorotan utama dalam Dialog Kebangsaan pada Musyawarah Wilayah (Muswil) X Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Jawa Timur, Sabtu (30/8) di Gedung Serba Guna Sabilurrosyidin, Surabaya. Kapolsahli Pangdam V Brawijaya, Brigjen TNI Singgih Pambudi Arinto menegaskan bahwa seluruh elemen bangsa harus mewaspadai isu geopolitik, konflik sosial, radikalisme, serta krisis pangan dan energi.
Menurutnya, konflik di Laut Cina Selatan masih berpotensi menimbulkan instabilitas kawasan. “Sejumlah negara, seperti Malaysia, Brunei, dan Filipina, memiliki hak atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sesuai hukum laut internasional. Namun, Tiongkok justru mengklaim hampir seluruh wilayah itu dengan sembilan garis putus-putus. Indonesia memang bukan pengklaim, tetapi ZEE kita di Laut Natuna Utara ikut terpotong,” jelasnya.
Ancaman kedua adalah konflik horizontal. Singgih menilai Indonesia sebagai masyarakat majemuk dengan beragam suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta berbagai lapisan sosial, sangat rawan terjadi gesekan. “Kemajemukan adalah kekuatan, tetapi jika tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi kerawanan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahaya terorisme dan radikalisme. Radikalisme, kata Singgih, adalah paham yang ingin mengubah tatanan negara secara frontal dengan ciri eksklusif, fanatisme berlebihan, dan penggunaan kekerasan. Ia mencontohkan peristiwa bom bunuh diri di tiga gereja dan Mapolrestabes Surabaya pada 2018. “Embrio terorisme adalah radikalisme, dan embrio radikalisme adalah intoleransi,” tandasnya.
Tak hanya itu, Singgih menyoroti ancaman ketahanan pangan dan energi. Ia mengutip teori Thomas Malthus bahwa pertumbuhan penduduk berkembang jauh lebih cepat dibanding ketersediaan pangan. “Setiap hari ada yang meninggal karena kelaparan dan kemiskinan. Ditambah lagi cadangan minyak dunia diperkirakan hanya bertahan hingga 2056. Maka, perebutan pangan dan energi akan semakin ketat,” ungkapnya.
Namun, menurut Singgih, Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor pertanian dan energi terbarukan karena letak geografis di daerah ekuator. Kodam V/Brawijaya bahkan telah meresmikan empat batalion teritorial pembangunan yang selain bertugas tempur, juga membantu meningkatkan produktivitas pertanian.
Untuk menghadapi berbagai ancaman tersebut, ia menekankan pentingnya program Asta Cita Presiden yang antara lain memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, toleransi, serta penghormatan terhadap HAM. “Bela negara tidak identik dengan seragam. Bela negara adalah hak dan kewajiban seluruh warga negara,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menekankan langkah konkret yang bisa dilakukan masyarakat, yakni menghargai perbedaan dengan menerapkan Bhinneka Tunggal Ika, menghindari diskriminasi, mengembangkan sikap toleransi dan gotong royong, mematuhi hukum, menjalin komunikasi yang sehat, serta menumbuhkan kecintaan pada budaya dan produk Indonesia.
“Menjunjung tradisi dan budaya yang tidak bertentangan dengan agama, sekaligus mencintai budaya sendiri agar tidak tergeser oleh budaya asing, adalah bagian penting dari ketahanan nasional,” pungkas Brigjen Singgih.