Pergantian tahun 2025 menuju 2026 tinggal menghitung hari. Akhir tahun kerap menjadi momen muhasabah diri, mengevaluasi beragam capaian dan menyusun harapan baru.
Namun, ada satu hal yang kadang kita lupakan, yakni muhasabah atas amal ibadah dan perilaku sehari-hari. Sebab hakikat kehidupan bukan semata tentang keberhasilan duniawi, melainkan tentang nilai kebaikan yang ditanam dan kelak dipertanggungjawabkan.
Dengan pemahaman itu, malam pergantian tahun sejatinya tidak berbeda dengan malam-malam lainnya. Tidak ada keharusan untuk menghitung mundur hingga pukul 00.00, begadang semalam suntuk, menyalakan kembang api, meniup terompet, atau menggelar pesta. Euforia yang berlebihan justru sering menjauhkan manusia dari esensi perenungan dan pengendalian diri, terutama bagi generasi muda yang masih mencari jati diri.
Seiring perubahan zaman, kemajuan teknologi menghadirkan kemudahan luar biasa dalam kehidupan manusia. Internet dan ponsel pintar telah mengubah cara manusia berkomunikasi, bekerja, belajar, dan bersosialisasi. Namun, kemajuan ini juga membawa tantangan besar bagi dunia pendidikan. Ketika teknologi tidak dibarengi dengan pendidikan karakter yang kuat, ruang digital justru menjadi ruang pembelajaran nilai yang keliru.
Fenomena ini sejatinya telah diperingatkan Rasulullah SAW dalam sabdanya:
لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ
“Tidak datang suatu zaman, melainkan zaman setelahnya lebih buruk daripada sebelumnya.” (HR. Bukhari)
Hadist tersebut bukan ajakan untuk pesimistis, melainkan peringatan agar manusia senantiasa waspada terhadap kemerosotan nilai yang menyertai perubahan zaman. Dalam konteks pendidikan, kemerosotan ini tampak pada semakin kaburnya batas halal dan haram, baik dalam konsumsi informasi maupun perilaku sehari-hari. Judi online, pinjaman online, konten pornografi, hingga pergaulan bebas kerap berawal dari akses digital yang tidak terkontrol.
Di sinilah peran keluarga menjadi sangat krusial. Keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak. Nilai kejujuran, tanggung jawab, adab, disiplin, dan pengendalian diri seharusnya ditanamkan sejak dini di lingkungan rumah. Ketika keluarga gagal menjalankan fungsi pendidikan karakter, anak akan mencari rujukan nilai dari luar—dan ruang digital kerap menjadi sumber utama yang tidak selalu sejalan dengan nilai agama dan budaya bangsa.
Dalam era digital, peran orang tua tidak cukup sebatas memenuhi kebutuhan materi dan pendidikan formal anak. Orang tua dituntut hadir secara aktif sebagai pendamping, pengarah, sekaligus teladan dalam penggunaan teknologi. Mengawasi gawai anak, membangun komunikasi yang terbuka, menetapkan batasan waktu dan konten, serta memberikan penjelasan nilai di balik setiap larangan menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan karakter. Tanpa keterlibatan orang tua, teknologi akan mengambil alih peran mendidik—dan sering kali mendidik dengan nilai yang keliru.
Pergeseran nilai sosial juga tampak dalam relasi antargenerasi. Dahulu, anak-anak dikenal taat dan berbakti kepada orang tua, sementara guru dihormati sebagai figur teladan. Kini, tidak sedikit kasus anak yang melawan orang tua dan murid yang kehilangan rasa hormat kepada guru. Fenomena ini mencerminkan rapuhnya sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam membentuk karakter anak.
Sekolah sejatinya berperan sebagai penguat nilai yang telah ditanamkan keluarga. Pendidikan tidak cukup hanya mentransfer pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga membentuk karakter dan kepribadian. Ketika pendidikan karakter tidak menjadi arus utama, sekolah berisiko hanya menjadi ruang akademik tanpa ruh nilai. Di sisi lain, guru yang seharusnya menjadi teladan pun menghadapi tantangan moral yang berat di tengah tekanan sosial dan perubahan zaman.
Normalisasi kemaksiatan di ruang publik semakin memperberat tugas pendidikan keluarga dan sekolah. Minuman keras yang dahulu dikonsumsi secara sembunyi-sembunyi kini dijual terbuka. Praktik hubungan sesama jenis yang dulu dianggap menyimpang kini dilegalkan di sejumlah negara dan dipromosikan melalui media sosial. Paparan semacam ini sangat mudah menjangkau anak-anak dan remaja, sehingga tanpa pendampingan keluarga yang kuat, mereka rentan kehilangan arah nilai.
Ancaman lain yang tak kalah serius adalah peredaran narkotika. Zat terlarang ini telah menyusup ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk pelajar dan mahasiswa. Dalam perspektif pendidikan, narkoba bukan hanya persoalan hukum, melainkan ancaman terhadap masa depan generasi dan kualitas sumber daya manusia bangsa.
Dalam konteks inilah, pergantian tahun seharusnya dimaknai sebagai momentum refleksi bersama, terutama bagi keluarga. Tahun baru bukan sekadar perayaan, melainkan kesempatan untuk meneguhkan kembali peran orang tua sebagai pendidik utama, memperkuat komunikasi dalam keluarga, serta membangun keteladanan nyata di rumah.
Sebab, sekuat apa pun sistem pendidikan formal dibangun, ia tidak akan berhasil tanpa fondasi karakter yang kokoh di keluarga. Dan di tengah arus perubahan zaman yang kian cepat, keluarga tetap menjadi benteng terakhir dalam menjaga nilai, iman, dan akhlak generasi penerus.
Larangan Meniru Gaya Hidup Jahiliyah (Tasyabbuh)
Kemajuan teknologi yang kian pesat membuat arus informasi mengalir tanpa sekat. Beragam informasi—mulai dari kesehatan, pendidikan, politik, hingga hiburan seperti sinetron, film Barat, dan musik asing—dapat diakses dengan mudah, bahkan hingga ke pelosok desa. Dunia seolah berada dalam genggaman. Namun di balik kemudahan itu, tersimpan tantangan besar bagi umat Islam, terutama generasi muda, yang semakin mudah meniru gaya hidup, budaya, dan cara berpakaian kaum nonmuslim tanpa mempertimbangkan nilai-nilai keislaman.
Fenomena ini sejatinya telah diperingatkan oleh Rasulullah SAW jauh hari. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.”
Ketika para sahabat bertanya, “Apakah mereka itu Persia dan Romawi?” Rasulullah SAW menjawab, “Kalau bukan mereka, lalu siapa lagi?” (HR. Bukhari).
Peringatan serupa juga diriwayatkan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri RA. Rasulullah SAW menegaskan bahwa umat Islam akan mengikuti kebiasaan umat-umat terdahulu, bahkan hingga pada hal-hal yang sempit dan tidak masuk akal. Ketika ditanya apakah yang dimaksud adalah Yahudi dan Nasrani, beliau menjawab, “Lalu siapa lagi?”
Dalam Islam, sikap meniru kekhususan kaum lain—terutama dalam aspek akidah, ibadah, dan tradisi yang bertentangan dengan nilai Islam—dikenal dengan istilah tasyabbuh. Perilaku ini dilarang secara tegas. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW juga menegaskan:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai selain kami.” (HR. Tirmidzi)
Peringatan tersebut kian relevan dalam kehidupan modern. Praktik tasyabbuh semakin tampak, salah satunya pada momentum perayaan malam tahun baru. Tidak sedikit orang yang menghambur-hamburkan harta untuk petasan dan kembang api, larut dalam pesta pora, mengonsumsi minuman keras dan narkoba, bahkan terjerumus dalam pergaulan bebas dan perzinaan, seolah semua itu merupakan hal yang lumrah.
Padahal, Allah SWT dengan tegas melarang sikap boros. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra’ [17]: 26–27)
Allah SWT juga melarang perbuatan zina dan segala jalan yang mengantarkan kepadanya:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang sangat buruk.” (QS. Al-Isra’ [17]: 32)
Bahkan, dalam sebuah hadist disebutkan bahwa ketika zina dan riba merajalela di suatu negeri, sesungguhnya mereka telah mengundang azab Allah atas diri mereka sendiri (HR. Al-Hakim).
Kondisi ini tidak boleh dibiarkan terus menimpa generasi penerus umat dan bangsa, yang kelak akan memegang estafet pelestarian. Karena itu, diperlukan perhatian dan pengawasan serius, terutama pada momen-momen rawan seperti malam pergantian tahun, agar muda-mudi kita tidak terjerumus ke dalam pelanggaran dan kemaksiatan.
Sebagai alternatif, malam tahun baru semestinya diisi dengan kegiatan yang positif dan bernilai ibadah, seperti pengajian santai yang menyenangkan, disertai makan bersama atau kegiatan keakraban yang tetap berada dalam koridornya, artinya tetap memperhatikan jangan sampai ada acara yang tasyabbuh menyerupai tradisi orang jahiliyah. Momentum ini dapat dimanfaatkan untuk mengingatkan muda-mudi kita agar terus menguatkan iman dan takwa, serta menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga akhlak dan memperbaiki kualitas ibadah.
Sebab, menjaga jati diri sebagai seorang muslim di tengah derasnya arus budaya global bukan sekadar pilihan, melainkan bagian dari tanggung jawab keimanan dan ikhtiar menjaga masa depan umat. (cak/wid).












