Penerapan Dukungan Psikologis Awal (DPA) dan layanan konseling menjadi elemen penting dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman, nyaman, dan menyenangkan (SANM). Keterampilan ini merupakan kompetensi dasar yang idealnya dimiliki oleh seluruh pemangku kepentingan pendidikan, mulai dari guru, orang tua, hingga masyarakat.
Hal ini disampaikan pengurus Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga (PPKK) DPP LDII, Dewi Ilma Antawati yang menjadi narasumber dalam Pelatihan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK), di Pondok Pesantren Wali Barokah, Minggu (25/5). Ia memaparkan materi bertajuk “Dukungan Psikologis Awal dan Konseling”.
Pelatihan TPPK ini sekaligus menjadi perintisan Sekolah Aman, Nyaman, dan Menyenangkan (SANM) tahun 2025.
“Kita ingin membangun budaya pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Upaya ini tidak bisa berjalan sendiri. Semua pihak harus bergerak bersama,” paparnya.
Dewi Ilma yang sehari-harinya mengajar di Universitas Muhammadiyah Surabaya, menjelaskan bahwa Dukungan Psikologis Awal (DPA) merupakan bentuk pertolongan pertama psikologis bagi individu yang mengalami tekanan emosional. Ia menegaskan bahwa DPA bukanlah terapi profesional, melainkan wujud kepedulian dan empati yang diberikan secara cepat, sederhana, namun mampu memberikan dampak yang signifikan.
“Kalau luka fisik memerlukan P3K, maka luka psikologis membutuhkan DPA,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dewi menggambarkan sekolah ideal sebagai ruang aman bagi peserta didik untuk berkembang secara fisik, intelektual, emosional, dan sosial. Dalam konteks ini, peran TPPK sangat penting dalam membentuk ekosistem pendidikan yang mendukung kesehatan mental anak-anak.
Ia juga memaparkan tiga langkah dasar dalam penerapan DPA yang dikenal dengan istilah look, listen, Link. Look atau mengamati, adalah keterampilan untuk mengenali tanda-tanda nonverbal yang mencerminkan kondisi emosional anak.
“Kita harus peka terhadap perubahan ekspresi wajah, postur tubuh, atau intonasi suara anak. Banyak anak tidak mengekspresikan perasaannya secara verbal,” jelas Dewi.
Listen atau mendengarkan, menekankan pentingnya mendengarkan secara aktif dan empatik. “Kadang anak hanya butuh didengarkan agar pikirannya tidak kusut. Mendengarkan aktif berarti hadir secara penuh tidak hanya mendengar, tapi juga memahami,” tambahnya.
Sedangkan, Link, atau menghubungkan, merupakan langkah untuk mengarahkan anak kepada sumber bantuan lanjutan yang kompeten. Setiap pendidik dan pemangku kepentingan perlu memahami batas kapasitas dirinya dalam memberikan dukungan. Apabila permasalahan yang dihadapi anak bersifat kompleks, sangat disarankan untuk merujuknya kepada tenaga profesional, seperti psikolog atau konselor, guna memperoleh penanganan yang tepat.
Dewi juga menggarisbawahi pentingnya peran keluarga dalam proses pencegahan kekerasan terhadap anak. “Sekolah hanya bagian dari kehidupan anak. Setelah itu, mereka pulang ke rumah. Maka, nilai-nilai positif harus terus ditanamkan di lingkungan keluarga,” imbuhnya.
Pelatihan TPPK ini mendukung implementasi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan pada Satuan Pendidikan. Dengan pelatihan ini, diharapkan para anggota TPPK dapat menjadi garda terdepan dalam mewujudkan satuan pendidikan yang aman secara fisik dan emosional bagi seluruh peserta didik.
Respon para pemangku di lembaga pendidikan akan menentukan tingkat keberhasilan dalam pengentasan permasalahan yang muncul. Terutama maslaah kekerasan di sekolah.
“Dasar dari DPA adalah empati dan kepedulian. Jika anak merasa didengar dan aman, maka ia akan memiliki harapan. Dan harapan adalah kunci untuk pulih,” ujarnya.